Awas Keliru! Ini Beda Casual Gamer dan Atlet Esports

Billy Rifki
22/11/2018 11:40 WIB
Awas Keliru! Ini Beda Casual Gamer dan Atlet Esports
Esports.ID

Berprofesi sebagai pemain game bukanlah hal aneh di masa sekarang. Sebutannya sebagai gamer profesional atau atlet esports sudah punya gengsi tersendiri khususnya bagi anak-anak milenial. Namun ada miskonsepsi di antara kalangan muda yang beranggapan bahwa hanya bermain game dari waktu ke waktu sudah dapat menyandang status gamer profesional.

Padahal tidak semua orang yang bermain game bisa dibilang atlet esports meski kebiasaan untuk bermain game secara casual tetap sah sebagai gamer. Lalu apa sih memang bedanya gamer casual dan atlet esports?

Setidaknya ada tiga hal utama yang melandasi perbedaan antara esports dan gamer biasa (casual), yakni: 1. Pemain Esports memainkan jenis game yang mengedepankan perebutan objektif berdurasi pendek, 2. Mewadahi unsur kompetisi individu maupun tim secara adil (balance), dan 3. Esports adalah profesi, gamer merupakan hobi.

Bila ingin menilik game apa yang layak dan pantas menjadi tajuk sebuah turnamen esports, terpenting adalah memastikan bahwa game tersebut memiliki aspek kompetitif antar pemain. Dalam hal ini berarti pemain atau tim akan berhadapan dengan pemain atau tim lainnya dalam game yang sama.

'Pertarungan digital' tersebut akan dirangkum dalam satu misi tertentu (objectives) untuk mencari pemenangnya. Kebanyakan tiap game esports punya durasi yang sebentar, meskipun ada juga yang berlarut-larut. Mulai dari 5 menit hingga 1 jam++, game esports cenderung bisa diterima sebagai tontonan layaknya ajang olahraga tradisional pada umumnya.

Kedua peserta memiliki kedudukan yang sama di tiap permainan, yakni mengedepankan skill dan kerjasama. Game dengan istilah pay to win tidak dapat masuk dalam ajang esports karena menimbulkan ketimpangan antar pemain. Hal yang diperbolehkan dalam pertandingan esports hanya perbedaan kelas berdasarkan skill dan jam terbang sebagai pemain.

Beberapa genre yang umum dikategorikan sebagai cabang esports adalah MOBA (DOTA 2, LOL, Vainglory), RTS (StarCraft II), FPS (CS:GO, Point Blank), Fighting (Tekken, Super Smash Bros), Card Games (Hearthstone), dan baru-baru ini Battle Royale (PUBG, Fortnite). Dari semua genre tersebut, ada satu tujuan utama yakni mengalahkan musuh. Caranya? Ada yang menghancurkan objektif berupa bangunan, atau memenangkan perebutan ronde antara dua kubu yang berlawanan, serta yang saling beradu skill pukulan dan serangan untuk memaksa lawan tumbang (KO). Semua begitu sederhana namun memerlukan pendekatan strategis untuk bisa menang.

Berbeda dengan permainan single-player, ataupun segelintir tipe multiplayer seperti genre RPG atau adventure yang cenderung memakan waktu lama dengan ragam misi berbeda. Keseluruhan interaksi hanya berdasarkan dinamika game yang ditanamkan karakter dengan kecerdasan buatan. Ambil contoh Grand Theft Auto, Final Fantasy Series, atau Silent Hill yang rasanya sulit untuk diwadahi sisi kompetisinya.

Ketiadaan celah untuk kompetisi membuat jenis game seperti ini sulit dikategorikan sebagai esports. Meski ada juga beberapa jenis game adventure yang menjadi cabang esports (speedrun). Inti dari cabang ini adalah menamatkan sebagian level atau seluruh game secepat mungkin. Game yang dipertandingkan di antaranya Quake, Super Metroid, dan Legend of Zelda

Mengadu skor tertinggi dalam suatu game seperti Super Mario Bros atau Sonic juga bisa menjadi unsur kompetisi sehingga layak untuk dikategorikan esports bila memang ada tujuan untuk menentukan siapa pemain terbaik dan memperebutkan hal simbolis bagi pemenang.

Dan tak kalah penting, atlet esports atau gamer profesional memiliki penghasilan dari bermain game. Mulai dari memenangkan turnamen atau kontrak resmi dengan tunjuangan tiap bulan dari organisasi esports. Untuk itu mereka diharuskan berlatih rutin tiap hari agar menjadi pemain atau tim terbaik. Bahkan dikatakan porsi latihan para gamer pro tersebut jauh lebih berat dan panjang bila dibandingkan dengan atlet olahraga tradisional.

Gamer pro memiliki tujuan dalam bermain yakni untuk menang dan menjadi yang terbaik. Bila kamu bermain sebagai selingan dan belum menghasilkan pendapatan tetap dari bermain game, itu tandanya kamu masih sebatas gamer casual yang bermain untuk bersenang-senang. Data menyebutkan 51% penduduk usia muda memainkan video game setidaknya 1 jam dalam seminggu. Dari ukuran profesional, minimal mereka berlatih 6-8 jam per hari, diselingi aktivitas fisik, diet teratur, kerap pula melakukan stream dan promosi.

Atlet esports juga memiliki resiko pekerjaan seperti frustasi, tekanan saat turnamen bahkan cidera. Sebaliknya, gamer casual cenderung bermain game untuk melepas frustasi dari pekerjaan, kecuali mereka memainkan game-game horor atau puzzle yang menyulitkan. Jadi, tidak perlu juga sampai frustasi hanya karena bermain game esports bersama teman di rumah, karena itu pertanda bahwa kamu terlalu serius dalam bermain dan melupakan unsur hiburannya.

Itu dia beberapa alasan mendasar yang membedakan gamer biasa dan atlet esports. Apakah kamu punya pendapat lain? Jangan sungkan untuk berkomentar ya Sobat Esports!